FILSAFAT PENDIDIKAN REKONSTRUKSIONISME
FILSAFAT PENDIDIKAN
REKONSTRUKSIONISME
Makalah ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah: Filsafat Pendidikan
Dosen pengampu: Dr.
Mahmud Arief, M.Ag.
oleh
Awalludin
09410292
Wido
Zufri Azhar 09410255
Muhammmad
syarifuddin k. 10410028
Syarifuddin
Mustofa 10410029
JURUSAN PAI
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UINVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2012
BAB I
Pendahuluan
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggris
rekonstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan,
aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata
susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran
rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu
hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran
rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan
zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan
kesimpangsiuran.Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran
rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran
perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan
yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang serasi dalam kehidupan.
Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni
dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road
culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran
rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya membina suatu konsensus
yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat
manusia.Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme berupaya mencari
kesepakatan antar sesama manusia atau orang, yakni agar dapat mengatur tata kehidupan
manusia dalam suatu tatanan dan seluruh lingkungannya. Maka, proses dan lembaga
pendidikan dalam pandangan rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan
utama tersebut memerlukan kerjasama antar ummat manusia.
Rumusan Masalah
1. Pengertian
Filsafat Rekonstruksionisme
2. Bagaimana teori pendidikan
Rekonstruksionisme
3. Pandangan-pandangan tentang
Rekonstruksionisme
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Ide Gagasan Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa inggris Reconstruct
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern.[1]
Aliran ini dipelopori oleh George Count dan
Harold Rugg pada tahun 1930. Mereka bermaksud membangun masyarakat baru,
masyarakat yang dipandang pantas dan adil.[2]
Ide gagasan mereka secara meluas dipengaruhi oleh
pemikiran progresif Dewey, dan ini menjelaskan mengapa aliran
rekonstruksionisme memiliki landasan filsafat pragmatisme. Meskipun mereka juga
banyak terinspirasi oleh pemikiran Theodore Brameld, khususnya dengan beberapa
karya filsafat pendidikannya, mulai dari Pattern of Educational Philosophy
(1950), Toward a reconstructed Philosophy of Education (1956), dan Education as
Power (1965).[3]
Pada dasarnya aliran rekonstruksionisme sepaham
dengan aliran perenialisme bahwa ada kebutuhan mendesak untuk kejelasan dan
kepastian bagi kebudayaan zaman modern sekarang (hendak menyatakan krisis
kebudayaan modern), yang sekarang mengalami ketakutan, kebimbangan dan
kebingungan. Tetapi aliran rekonstruksionisme tidak sependapat dengan cara dan
jalan pemencahan yang ditempuh filsafat perenialisme. Aliran perenialisem
memilih jalan kembali ke alam kebudayaan abad pertengahan. Sementara itu
alliran rekonstruksionisme berusaha membina suatu konsensus yang paling luas
dan paling mungkin tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia.[4]
Untuk mencapai tujuan tersebut, rekonstruksionisme
berusaha mencari kepepakatan semua orang mengenai tujuan utama yang dapat
mengatur tata kehidup manusia dalam suatu tatanan baru seluruh lingkungannya,
maka melalui lembaga dan proses pendidikan. Rekonstruksionisme ingin merombak
tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali
baru.[5]
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas
penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Oleh
karenanya, pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan
membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang
benar demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang sehingga terbentuk
dunia baru dalam pengawasan umat manusia.[6]
Aliran ini memersepsikan bahwa masa depan suatu
bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara
demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila
demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan
sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu
meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan
masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama
(kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.[7]
Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa aliran
rekonstruksionisme bercita-cita untuk mewujudkan suatu dunia dimana kedaulatan
nasional berada dalam pengayoman atau subordinate dari kedaulatan dan otoritas
internasional[8]
B. Prinsip-Prinsip Rekonstruksionisme
Masyarakat Dunia Sedang dalam Kondisi krisis, Jika Praktik-praktik yang
Ada Sekarang Tidak Dibalik (Diubah secara Mendasar), Maka Peradaban yang Kita
Kenal ini Akan Megalami Kehancuran.[9]
Persoalan-persoalan tentang kependudukan, sumber
daya alam yang terbatas, kesenjangan global dalam distribusi (penyebaran)
kekayaan, poliferasi nuklir, rasisme, nasionalisme sempit, dan penggunaan
teknologi yang ‘sembrono’ dan tidak bertanggung jawab telah mengancam
dunia kita sekarang dan akan memusnahkannya jika tidak dikoreksi segera
mungkin. Persoalan-persoalan tersebut menurut kalangan rekonstruksionisme,
berjalan seiring dengan tantangan totalitarisme modern, yakni hilangnya
nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat luas dan meningkatnya kedunguan
fungsional penduduk dunia. Singkatnya, dunia sedang menghadapi
persoalan-persoalan sosial, militer dan ekonomi pada skala yang terbayangkan.
Persoalan-persoalan yang dihadapi tersebut sudah sedemikian beratnya sehingga
tidak dapat lagi diabaikan.
Solusi
Efektif Satu-satunya bagi Persoalan-Persoalan Dunia Kita adalah Penciptaan
Tatanan Sosial yang Menjagat.[10]
Kerjasama dari semua bangsa adalah satu-satunya
harapan bagi penduduk dunia yang berkembang terus yang menghuni dunia dengan
segala keterbatasan sumber daya alamnya. Era teknologi telah memunculkan saling
ketergantungan dunia, di samping juga kemajuan-kemajuan di bidang sains. Di
sisi lain, kita sedang didera kesenjangan budaya dalam beradaptasi dengan tatanan
dunia baru. Kita sedang berupaya hidup di ruang angkasa dengan sebuah sistem
nilai dan mentalitas politik yang dianut di era kuda dan andong.
Menurut rekonstruksionisme, umat manusia sekarang
hidup dalam masyarakat dunia yang mana kemampuan teknologinya dapat
membinasakan kebutuhan-kebutuhan material semua orang. Dalam masyrakat ini,
sangat mungkin muncul penghayal karena komunitas internasional secara
bersama-sama bergelut dari kesibukan menghasilkan dan mengupayakan kekayaan
material menuju ke tingkat dimana kebutuhan dan kepentingan manusia dianggap
paling penting. Dunia semasa itu, orang-orang berkonsentrasi untuk menjadi
manusia yang lebih baik (secara material) sebagai tujuan akhir.
Pendidikan Formal Dapat Menjadi
Agen Utama dalam Rekonstruksionisme Tatanan Sosial.[11]
Sekolah-sekolah yang
merefleksikan nilai-nilai sosial dominan, menurut rekonstruksionisme hanya akan
mengalihkan penyakit-penyakit politik, sosial, dan ekonomi yang sekarang ini
mendera umat manusia. Sekolah dapat dan harus mengubah secara mendasar peran
tradisionalnya dan menjadi sumber inovasi baru. Tugas mengubah peran pendidikan
amatlah urgen, karena kenyataan bahwa manusia sekarang mempunyai kemampuan
memusnahkan diri.
Kalangan rekontruksionis di satu sisi tidak
memandang sekolah sebagai memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan sosial
seorang diri. Di sisi lain, mereka melihat sekolah sebagai agen kekuatan utama
yang menyentuh kehidupan seluruh masyarakat, karena ia menyantuni anak-anak
didik selama usia mereka yang paling peka. Dengan demikian, ia dapat menjadi
penggerak utama pencerahan problem-problem sosial dan agitator utama perubahan
sosial.
Metode–metode Pengajaran Harus Didasarkan pada Prinsip-Prinsip Demokratis
yang Bertumpu pada Jumlah Mayoritas untuk Merenungkan dan Menawarkan Solusi
yang Paling Valid bagi Persoalan-Persoalan Umat Manusia.[12]
Dalam pandangan kalangan rekonstruksionisme,
demokrasi adalah sistem politik yang terbaik karena sebuah keharusan bahwa
prosedur-prosedur demokratis perlu digunakan di ruangan kelas setelah para
peserta didik diarahkan kepada kesempatan-kesempatan untuk memilih di antara
keragaman pilihan-pilihan ekonomi, politik, dan sosial.
Brameld menggunakan istilah pemihakan defensif
untuk mengungkapkan posisi (pendapat) guru dalam hubungannya dengan item-item
kurikuler yang kontroversial. Dalam menyikapi ini, guru membolehkan uji
pembuktian terbuka yang setuju dan yang tidak setuju dengan pendapatnya, dan ia
menghadirkan pendapat-pendapat alternatif sejujur mungkin. Di sisi lain, guru
jangan menyembunyikan pendirian-pendiriannya. Ia harus mengungkapkan dan
mempertahankan pemihakannya secara publik. Di luar ini, guru harus berupaya
agar pendirian-pendiriannya diterima dalam skala seluas mungkin. Tampaknya
telah diasumsikan oleh kalangan rekonstruksionis bahwa persoalan-persoalan itu
sedemikian clear-cut (jelas-tegas) sehingga sebagian besar akan setuju terhadap
persoalan-persoalan dan solusi-solusi jika dialog bebas dan demokratis
diizinkan.
Jika Pendidikan Formal adalah Bagian Tak Terpisahkkan dari Solusi Sosial dari
Krisis Dunia Sekarang, maka Ia Harus secara Aktif Mengajarkan Perubahan Sosial.[13]
C. Pandangan Rekonstruksionisme
1. Pandangan Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang
bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang
bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada dimana dan sama
di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit
dan menuju ke arah yang khusus menampakkan diri dalam perwujudan sebagaimana
yang kita lihat di hadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti
bewan dan tumbuhan atau benda lain di sekeiling kita, dan realita yang kita
ketahui dan kita hadapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang
dipunyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran.
Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu
cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas
(teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna
mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap
realita memiliki perspektif tersendiri.[14]
3. Pandangan
Epistimologis
Kajian epsitimologis aliran ini lebih merujuk pada
pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak
dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu
azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui
proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan
suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio
sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal dibawa oleh panca indera
menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu
kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada
pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan
yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai
ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas
eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu
diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai
kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum
tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang
logis.
Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari
Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan
bukti (evidence), dengan jalan pemikirannya adalah silogisme. Silogisme
menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion),
dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.[15]
2. Pandangan
Ontologis
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan
nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan
alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar
ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan
kecenderungan manusia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) tentang
pengertian “nilai” tidak terbatas.
Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai
berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal,
yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah pancaran
yang potensial yang berasal dari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah
tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Kemudian, manusia
sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai
dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya apabila tidak dikuasai
oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi
penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan
politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap
berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam
tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya,
dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu
dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan),
hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan
menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan
moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari
kebajikan intelektual.[16]
D. Teori Pendidikan
Rekonstruksionisme
Teori pendidikan rekonstruksionisme yang
dikemukakan oleh Brameld terdiri atas 5 tesis, yaitu :[17]
- Pendidikan
harus dilaksanakan di sini dan sekarang dalam rangka menciptakan tata
sosial baru yang akan mengisi nilai-nilai dasar budaya kita, dan selaras
dengan mendasari kekuatan-kekuatan ekonomi, dan sosial masyarakat modern.
Sekarang peradaban menghadapi kemungkinan penghancuran diri. Pendidikan
harus mensponsori perubahan yang benar dalam nurani manusia. Oleh karena
itu, kekuatan teknologi yang sangat hebat harus dimanfaatkan untuk
membangun umat manusia, bukan untuk menghancurkannya. Masyarakat harus
diubah bukan melalui tindakan politik, melainkan dengan cara yang sangat
mendasar, yaitu melalui pendidikan bagi para warganya, menuju suatu
pandangan baru tentang hidup dan kehidupan mereka bersama.
- Masyarakat
banyak harus berada dalam kehidupan demokrasi sejati, dimana sumber dan
lembaga utama dalam masyarakat dikontrol oleh muridnya sendiri. Semua yang
mempengaruhi harapan dan hajat masyarakat, seperti sandang, papan, pangan,
kesehatan, industri, dan sebagainya, semuanya akan menjadi tanggung jawab
rakyat, melalui wakil-wakil yang dipilih. Masyarakat ideal adalah
masyarakat demokratis, dan harus direalisasikan secara demokrasi.
Struktur, tujuan dan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan tata aturan
baru harus diakui merupakan bagian dari pendapat masyarakat.
- Anak,
sekolah, dan pendidikan itu sendiri dikondisikan oleh kekuatan budaya dan
sosial. Menurut Brameld, kaum progresif terlalu sangat menekankan bahwa
kita semua dikondisikan secara sosial. Perhatian kaum progresif hanya
untuk mencari cara dimana individu dapat merealisasikan dirinya dalam
masyarakat, dan mengabaikan derajat dimana masyarakat telah menjadikan
jati dirinya. Menurut rekonstruksionisme, hidup beradab adalah hidup
berkelompok, sehingga kelompok akan memainkan peran yang penting di
sekolah. Pendidikan merupakan realisasi dari sosial (social self
realization). Melalui pendidikan, individu tidak hanya mengembangkan
aspek-aspek sifat sosialnya melainkan juga belajar bagaimana keterlibatan
dalam perencanaan sosial.
- Guru harus
meyakini terhadap validitas dan urgensi dirinya dengan cara
bijaksana dengan cara memperhatikan prosedur yang demokratis. Guru harus
melaksanakan pengujian secara terbuka terhadap fakta-fakta, walaupun
bertentangan dengan pandangan-pandangannya. Guru menghadirkan beberapa
pemecahan alternatif dengan jelas, dan ia memperkenankan siswa-siswanya
untuk mempertahankan pandangan-pandangan mereka sendiri.
- Cara dan
tujuan pendidikan harus diubah kembali seluruhnya dengan tujuan untuk
menemukan kebutuhan-kebutuhan yang berkaitan dengan krisis budaya dewasa
ini, dan untuk menyesuaikan kebutuhan dengan sains sosial. Yang penting
dari sains sosial adalah mendorong kita untuk menemukan nilai-nilai,
dimana manusia percaya atau tidak bahwa nilai-nilai itu bersifat
universal.
E.
Implikasi Rekonstruksionisme dalam Pendidikan
Power (1982) menggunakan istilah neoprogresivisme
untuk aliran rekonstruksionisme, dan mengemukakan implikasi pendidikannya
sebagai berikut :[18]
Tema
Pendidikan merupakan usaha sosial. Misi sekolah
adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial.
Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan
aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya adalah esensial dalam masyarakat
yang majemuk. Transmisi budaya juga harus mengenal fakta budaya yang majemuk
tersebut.
Kurikulum
Kurikulum sekolah tidak boleh didominasi oleh
budaya mayoritas maupun oleh budaya yang ditentukan atau disukai. Semua budaya
dan nilai-nilai yang berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam
kurikulum.
Kedudukan siswa
Nilai-nilai budaya siswa yang dibawa ke sekolah
merupakan hal yang berharga. Keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial
ditingkatkan, mana kala rasa hormat diterima semua latar belakang budaya.
Metode
Sebagai kelanjutan dari pendidikan progresif,
metode aktivitas dibenarkan (learning by doing).
Peranan Guru
Guru harus menunjukkan rasa hormat yang sejati atau
ikhlas terhadap semua budaya baik dalam memberi pelajaran maupun dalam hal
lainnya. Pelajaran sekolah harus mewakili budaya masyarakat.
Kesimpulan
Rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct
yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran
rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama
dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Melalui
lembagai dan proses pendidikan, rekonstruksionisme ingin merombak tata susunan
lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang sama sekali baru.
Adapun implikasi aliran ini dalam dunia pendidikan
diantaranya yaitu: misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial,
pendidikan bertanggung jawab dalam menciptakan aturan sosial yang ideal,
kurikulum sekolah tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas maupun oleh
budaya yang ditentukan atau disukai karena semua budaya dan nilai-nilai yang
berhubungan berhak untuk mendapatkan tempat dalam kurikulum, guru harus
menunjukkan rasa hormat yang sejati atau ikhlas terhadap semua budaya baik
dalam memberi pelajaran maupun dalam hal lainnya
Saran
Setelah mempelajari aliran rekonstruksionisme, maka
sebagai calon guru PAI seharusnya mampu memahami dan kelak mampu menerapkannya.
Seorang guru harus mampu menyadarkan peserta didik terhadap masalah-masalah
yang dihadapi, seorang guru harus membantu peserta didik mengidentifikasi
masalah-masalah untuk dipecahkan. Guru juga harus mampu mendorong peserta didik
untuk dapat berpikir tentang alternatif-alternatif dalam memecahkan masalah di
kehidupan modern in
DAFTAR PUSTAKA
H.W, Gandhi Teguh Wangsa. Filsafat Pendidikan
Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Yogyakarta
: Ar-Ruzz Media. 2011
Indar, M. Djumberansjah. Filsafat pendidikan.
Surabaya :
Abditama. 1994
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan
(Manusia, Filsafat, dan Pendidikan). Jakarta
: Gaya Media
Pratama. 1997
Knight, George. Issue and Alternative in
Educational Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif. Yogyakarta
: Gama Media. 2007
Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan.
Bandung :
Alfabeta. 2006
Hadirukiyah,
Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
from:
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/06/filsafat-pendidikan-rekonstruksionisme.html
diakses tgl 28 April 2012
Vionardi, rekonstruksionisme
from:http://vionardi.wordpress.com/2011/07/05/rekonstruksionisme/#_ftn6 diakses
tgl 28 April 2012
[2] Gandhi Teguh Wangsa H.W. Filsafat Pendidikan
Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta ,
Ar-ruzz Media, 2011). Hal. 189
[3] Ibid Hal. 190
[4] Muhammad noor syam, filsafat pendidikan dan dasar
filsafat kependidikan pancasila (surabaya; usaha nasional, 1986) hlm., 340-341
[6] Gandhi Teguh Wangsa H.W. Filsafat Pendidikan Mazhab-Mazhab
Filsafat Pendidikan. (Yogyakarta , Ar-ruzz
Media, 2011). Hal. 190
[7]Ibid. Hal. 191
[8] M. Djumberansjah Indar. Filsafat pendidikan.
(Surabaya, Abditama, 1994). Hal 139
[9] George Knight. Issue and Alternative in Educational
Philoshopy Terjemahan Mahmud Arif. (Yogyakarta ,
Gama Media, 2007). Hal. 185
[10] Ibid Hal. 186
[11] Ibid Hal. 187
[12] Ibid Hal. 188
[13] Ibid Hal. 190
[14] Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan
(Manusia, Filsafat, dan Pendidikan). (Jakarta, Gaya Media Pratama, 1997).
Hal. 98
[15] Ibid Hal. 99
[16] Ibid Hal. 100
[17] Uyoh Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan. (Bandung ,
Alfabeta, 2006). Hal. 169
[18] Ibid Hal. 171